Kamis, 24 Maret 2011

AL-QUR'AN MASIH MELANGIT

"Ketika yang memahami Al-Qur'an hanyalah Mufassir, maka saat itulah Al-Quran berada di langit tidak menyentuh bumi."

"Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." (QS. Ibrahim : 4)

"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya." (QS. Yusuf : 2)
Pada saat diturunkannya Al-Quran, Rasulullah Saw., menerima wahyu Allah dengan bahasa yang tidak dipahami oleh manusia, kadang-kadang berupa gemerincing suara lonceng, kadang kala dibalik tabir, dalam berbagai macam cara Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. kemudian Nabi menerimanya dengan berbagai macam keadaan pula, kadangkala sampai memekakkan telinga dan mengeluarkan keringat dingin. demikianlah keadaan Rasulullah Saw. dalam menerima wahyu dari Allah SWT. Dengan melihat ayat QS. Ibrahim ayat 4 di atas, kita dapat memahami bahwa Rasulullah diutus dengan bahasa kaumnya, maka bahasa yang paling cocok adalah Bahasa Arab, bahasa Arab adalah bahasa kaumnya dimana Nabi lahir, maka Nabi kemudian menyampaikan wahyu tersebut kepada kaumnya menggunakan bahasa Arab, bahasa yang keluar dari lisan Nabi adalah bahasa Arab, maka kemudian para sahabat menghafal ayat yang baru turun itu dan menuliskannya dalam berbagai media yang bisa ditulis saat itu. setelah ayat Al-Quran itu turun sesuai dengan kelompok turunnya, ada yang satu ayat, ada yang lima ayat, sepuluh ayat bahkan satu surah, maka Nabi Saw. menjelaskan ayat-ayat itu melalui penafsiran beliau ...........
"Ketika Mufasir berlomba dalam kebaikan membuat kitab tafsir yang berjilid-jilid itu, disaat itulah prinsip kemanusiaan terhenti atau dimulai, karena terhentinya kreatifitas manusia untuk memahami".

Kita tidak menyalahkan para Mufassir itu, justru kita harus sangat berterima kasih kepada para Mufassir karena dengan hadirnya kitab tafsir itu akan menambah referensi kita untuk lebih memahami Al-Quran. celakanya adalah kitab itu kemudian terhenti hanya sampai kepada menghasilkan sebuah kitab tafsir yang tebal itu saja. karena tidak ada kreatifitas individu manusia untuk dapat menyerap makna yang terkandung di dalamnya, yang pada akhirnya kitab tafsir itu hanyalah sebuah benda yang tidak mebawa perubahan apa-apa, tidak berharga sama sekali karena kitab itu baru akan berharga jika tersentuh oleh nurani dan interpretasi pembacanya, yang kemudian akan membawa pembacanya pada aksi-aksi humanis.

Al-Quran yang Membumi

Ketika suatu ayat turun kepada Nabi, kemudian Nabi menyampaikan ayat itu kepada para sahabat dengan redaksi dari Allah, dengan bahasa wahyu, maka Nabi Muhammad saw kemudian menjelaskan tafsirannya terhadap ayat yang baru turun tersebut dengan bahasa kaumnya. Apa yang disampaikan Nabi pada waktu itu kemudian dapat langsung dicerna oleh para sahabat dan kaumnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, karena memang turunnya ayat tersebut sesuai dengan kebutuhan ummat (sesuai asbabunnuzul)dalam rangka menyelesaikan persoalan keumatan yang baru muncul.

Para sahabat Rasulullah itu, ketika menerima ayat Quran sekaligus tafsirannya dari Nabi, langsung menghafalnya dalam hati, menghayatinya karena memang benar-benar memahami setiap ayat itu dan memahami tafsirannya untuk kemudian serta merta menggelora kepada amal perbuatan, kerja nyata di dalam kesehariannya hidup bermasyarakat. apa yang didapatnya benar-benar teraplikasikan dalam kehidupan riil.

Setelah para sahabat yang pertama kali menerima ayat dari Nabi itu kemudian menyiarkan atau menyampaikannya kepada kaum muslimin secara berantai berikut penafsirannya sesuai dengan apa yang diterimanya dari rasul, mereka menduplikasi penyampaian tafsiran rasul terhadap suatu ayat. maka dengan tidak terlalu lama ayat Quran menyebar dan langsung dipahami oleh kaum muslimin

usaha kita selanjutnya adalah menyelami lautan kitab tafsir itu, sampai kita mendapatkan mutiara-mutiara terindah dari Al-Quran yang dengan keindahannya akan selalu menghiasi kehidupan kita.

sementara selama ini kita masih berenang-renang dipermukaannya saja sehingga tidak akan pernah mendapatkan mutiaranya.

Sebenarnya masih ada yang harus kita lakukan setelah kitab tafsir itu ada. jangan malah terhenti kreatifitas kita ketika kitab tafsir itu hadir dihadapan kita.

Selasa, 22 Maret 2011

REKONSTRUKSI TAFSIR

"Tentunya, sebuah tanggung jawab yang tidak mudah untuk menjadikan Al-Quran sebagai cahaya dan petunjuk ditengah arus budaya klaim, yang seringkali menari-nari di wilayah permukaan, tapi tidak mampu menyelami lautan Al-Quran yang penuh dengan mutiara."1

Secara etimologis, tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran,yaitu menjelaskan dan menerangkan (al-idhah wa al-tabyin). Pandangan ini didasari pada sebuah ayat dalam surah Al-Furqan ayat 33, "Dan Kami tidak mendatangi kamu dengan sebuah perumpamaan kecuali dengan sebuah kebenaran dan tafsir yang paling baik". Jadi, tafsir adalah penjelasan dan penyingkapan.2 Dalam kamus yang paling otoritatif dalam literatur keislaman, Lisan Al-'Arab, tafsir berarti memperjelas, menyingkap yang tertutup, serta menyingkap makna sebuah lafaz yang sulit dipahami. Abu Hayyan Al-Tawhidi dalam Al-Bahr Al-Muhith mempunyai pandangan, bahwa tafsir merupakan upaya penelanjangan, pelepasan, dan pembentangan untuk tinggal landas. Tafsir adalah penyingkapan.3

Secara etimologis dapat dipahami bahwa tafsir adalah upaya menjelaskan dan menyingkap sebuah lafaz agar sampai pada sebuah pemahaman yang tepat. Dalam ayat diatas juga dapat disimpulkan, bahwa Al-Quran telah menegaskan sejaK awal perihal keterkaitan antara kebenaran (al-haqq) dan penyingkapan (al-tafsir. Keduanya merupakan sebuah paket yang tak terpisahkan. Tirai kebenaran harus senantiasa disingkap melalui medium tafsir.4


___________
1. Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, hal. 97
2. Dr. Muhammad Husein Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. VIII, 2003, hal. 12
3. Ibid
4. Zuhairi Misrawi, hal. 98

PERGAULAN ISLAM UNIVERSAL

Allah SWT. berfirman : "Jikalau ahlul kitab beriman, niscaya hal tersebut merupakan kebaikan bagi mereka. Di antara mereka terdapat orang-orang mukmin dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang fasik. Tidaklah sama, diantara ahlul kitab terdapat umat yang bangun di malam hari membaca Al-Quran dan mereka juga bersujud. Beriman kepada Allah dan hari akhir, menyerukan pada kebaikan, melarang kemungkaran dan mereka juga bersaing dalam kebajikan. mereka adalah orang-orang saleh. kebaikan yang mereka lakukan tidak akan pernah diabaikan dan Allah maha tahu atas orang-orang yang bertaqwa." (Q.S. Ali 'Imran : 110, 113-115)

Rasulullah Bersabda,Perumpamaanku dan perumpamaan para nabi-nabi terdahulu, yaitu seperti seseorang yang membangun rumah lalu menyempurnakan dan memperindahnya kecuali sebuah batu di bagian pojok rumah. kemudian orang-orang mengelilingi dan mengagumi tempat tersebut. Mereka bertanya, kenapa batu ini tidak diletakkan? Rasulullah SAW. menjawab, "Saya adalah batunya dan saya adalah penutup para Nabi." (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Di Madinah, Rasulullah saw. telah mempraktikkan toleransi dalam kehidupan keberagamaan dan politik. Dikisahkan, bahwa pada suatu hari ketika delegasi Kristen Najran mendatangi Rasulullah saw., beliau menerima mereka di masjid. Saat itu Rasulullah sedang melaksanakan Sholat Ashar. Lalu mereka meminta izin kepada Rasulullah saw untuk melakukan kebaktian di masjid. Beliau menjawab, "biarkan mereka melakukan kebaktian di masjid ini". Mereka pun menunaikan kebaktian sembari menghadap ke arah timur. (Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, hal. 197)

Dari beberapa ayat, hadits, dan riwayat di atas, telah tergambar bahwa di awal kelahiran Islam Nabi telah meletakkan dasar-dasar pergaulan dengan penganut agama lain, bahwa pada dasarnya tidak ada permusuhan antara penganut agama. bahkan pergaulan ini sesungguhnya telah diabadikan Oleh Rasulullah di dalam Konstitusi Madinah, kesepakatan-kesepakatan antara penganut-penganut agama yang hidup di dalam pemerintahan Madinah sudah diikrarkan dan secara tertulis hitam di atas putih. sebagai sebuah simbol kehormatan orang-orang yang hidup di dalamnya. Mereka hidup dalam sebuah negara yang satu sama lain saling menghormati privasi masing-masing agama. Dalam rangka menegakkan ikrar yang sudah menjadi Konstitusi Madinah, konsekuensinya adalah mereka harus saling membantu, menolong, bahu-membahu dalam rangka menjalani aktifitas hidup yang wajar sebagai elemen-elemen penting dalam sebuah negara bahkan mempertahankan Negara dari serangan musuh sampai titik darah penghabisan.

Rekonstruksi Nasikh wa Mansukh Dalam Menafsirkan Ayat al-Quran yang Mengajarkan Toleransi Dalam Keragaman

Sebagaimana yang termaktub di dalam surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat 69, yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". Ayat ini kemudian jika dikaitkan dengan surah Ali-Imran ayat 85, yang akan timbul bahwa ayat ini seolah-olah mengabrogasi/me-mansukh ayat 62 dan 69 di atas, ayat 85 tersebut berbunyi, "Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." Menurut tafsir Buya Hamka bahwa ayat tersebut tidak mengabrogasi ayat 62 dan 69, menurut beliau ayat 85 ini bukanlah menghapuskan ayat 62 dan 69 dari surat al-Baqarah dan al-Maidah di atas, melainkan memperkuatya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah SWT, dan hari akhirat. Percaya kepada Allah SWT., artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala Rasul-Nya, dengan tidak tekecuali, termasuk percaya kepada Nabi Muhammad Saw., dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."

Buya Hamka menambahkan, "Kalau dikatakan ayat 62 dan 69 dinasikhkan oleh ayat 85 surah Ai Iman itu yang akan timbul ialah fanatik: mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita paamkan bahwa diantara ayat-ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu dakwah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.