MATERI PENGAJARAN PERTEMUAN
KEEMPAT
AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 1
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TANGERANG
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM
Al-Qur’an: Isi dan
Sistematikanya
Al-Hadits: Arti dan
Fungsinya
Ra’yu atau Akal Fikiran yang Dilaksanakan dengan
Ijtihad
Oleh : ZULPIQOR, MA
A.
PENDAHULUAN
Sumber adalah rujukan
dasar atau asal muasal. Sumber
yang baik adalah sumber yang memilki sifat dinamis dan tidak pernah mengalami
kemandegan. Sumber yang benar juga bersifat mutlak, artinya terhindar dari
nilai kefanaan.
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan atau dasar
yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Sumber hukum Islam, artinya sesuatu
yang menjadi pangkal, tempat, pusat, sentral dan pokok dari ajaran Islam.
Sumber hukum Islam bersifat dinamis, benar dan mutlak, serta tidak pernah
mengalami kemandegan, kefanaan, atau kehancuran. Adapun yang menjadi sumber
hukum dalam Islam yaitu ada 2 (dua) yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Akan
tetapi ada sebagian ulama yang memakai
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam untuk menjawab persoalan kehidupan yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, hal ini didasari dari sebuah
riwayat ketika sahabat Muadz bin Jabbal diutus Rasulullah saw. ke Yaman untuk
mengajar Al-Quran.
B.
AL-QURAN ; ISI DAN SISTEMATIKANYA:
Al-Quran
adalah sumber agama (juga ajaran) Islam yang pertama dan utama. Al-Quran adalah
kitab suci yang memuat firman-firman Allah, sama benar dengan yang disampaikan
oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Makkah kemudian di Madinah.
Tujuannya, untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup
dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat
kelak. (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hal. 93)
Al-Quran
yang menjadi sumber nilai atau norma umat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz
(bagian), 114 surah (surat: bab) lebih dari 6000 ayat 74,499 kata atau 325. 345
huruf (atau lebih tepat dikatakan 325 345 suku kata kalau dilihat dari sudut
pandang bahasa Indonesia). Tentang perbedaan jumlah ayat ada perbedaan pendapat
antara para ahli ilmu al-Quran. Ada ahli yang memandang 3 ayat tertentu sebagai
satu ayat, ada pula yang memandang 2 ayat sebagai satu ayat, karena masalah
koma dan titik yang diletakkan antara ayat-ayat itu, namun demikian, jumlah
kata dan suku kata yang mereka hitung adalah sama.
Al-Quran
yang terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6326 ayat itu, sistematikanya ditetapkan
oleh Allah sendiri melalui malaikat Jibril yang disampaikan kepada Rasul-Nya
Muhammad. Allahlah yang menentukan kemana ayat yang turun kemudian disisipkan
di antara ayat yang turun lebih dahulu. Sistematiknya tidak seperti sistematik
buku (ilmiah), mengikuti metode tertentu, suatu masalah dibicarakan dalam
beberapa bab, bagian dan butir-butir. Oleh karena itu kalau kita membaca
al-Quran, masalah akidah misalnya, berdampingan dengan soal hukum, sejarah umat
yang lalu disatukan dengan nasihat, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah
yang ada di alam semesta. Soal perang berurutan dengan hukum meminum minuman
yang memabukkan (mibuk), perjudian, pemeliharaan anak yatim dan perkawinan
dengan orang musyrik seperti yang dapat dibaca dalam surah al-Baqarah (2);
216-221. Maksud sistematik demikian adalah agar orang mempelajari dan memahami
al-Quran sebagai satu kesatuan yang harus ditaati pemeluk agama Islam secara
keseluruhan tanpa memilah-milah (bagian) yang satu dengan (bagian) yang lain.
(Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hal. 95-96)
Penamaan
ayat-ayat yang turun pada kelompok turunnya disebut Ayat Makkiyah karena
turunnya di Kota Makkah, sedangkan yang turun di Kota Madinah disebut ayat
Madaniyah. Ayat-ayat tersebut bisa dibedakan dari ciri-cirinya, adalah:
1) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya
pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 86
surat, 4.780 ayat. Ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-panjang, merupakan
11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28 surat, 1.456 ayat.
2) Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan
kata-kata Yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang ayat-ayat Madaniyah dimulai
dengan kata-kata yaa ayyuhalladziina aamanu (hai orang-orang yang beriman).
3) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengenai
tauhid keyakinan pada Kemahaesaan Allah, hari kiamat, akhlak dan kisah-kisah
umat manusia di masa lalu, sedang ayat-ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum,
keadilan, masyarakat dan sebagainya.
4) Ayat-ayat Makkiyah diturunkan selama 12
tahun 13 hari, sedang ayat-ayat Madaniyah selama 10 tahun 2 bulan 9 hari.
(Nasruddin Razak, 1977 : 90)
Isi yang terkandung di dalam
Al-Quran antara lain adalah:
1) Petunjuk mengenai akidah
2) Petunjuk mengenai syari’ah
3) Petunjuk tentang akhlak
4) Kisah-Kisah umat manusia di zaman lampau
5) Berita-berita tentang zaman yang akan
datang
6) Benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
7) Hukum yang berlaku bagi alam semesta
(sunatullah)
(Prof. H. Mohammad Daud Ali,
SH, Hal. 95-103)
C.
AL-HADITS: ARTI DAN FUNGSINYA
Al-Hadits
adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa yang telah disebutkan dalam
Al-Quran di atas, dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah dengan
sunnah beliau. Karena itu, sunnah Rasul yang kini terdapat dalam hadits
merupakan penafsiran serta penjelasan otentik, (Sah, dapat dipercaya
sepenuh-nya) tentang al-Quran.
Pengertian Hadits
dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut terminoligi.
Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :
1.
Jadid yang berarti baru
2.
Qarid yang artinya dekat, dan
3.
Khabar yang artinya berita
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
sebagainya”.
Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini
memuat empat elemen, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat
lain. Secara lebih jelas dari ke empat elemen tersebut dapat uraikan sebagai
berikut :
1. Perkataan (qouliyah)
Yang
dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq,
aqidah, pendidikan dan sebagainya.
2.
Perbuatan (fi’liyah)
Perbuatan
adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap
peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti
halnya jumlah rakaat, cara mengerjakan haji, cara berzakat dan lain-lain. Perbuatan
nabi yang merupakan penjelas tersebut haruslah diikuti dan dipertegas dengan
sebuah sabdanya.
3.
Pernyataan/sikap
diam/tidak melarang/setuju (Taqririyah)
Taqrir
adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan
reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa
yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
Para ahli
hadis, umumnya menyamakan istilah hadis dengan istilah sunnah. Namun, ada
sementara ahli hadis mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus untuk
sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah (perbuatan), dan
sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja. Dengan demikian
sunnah lebih luas dan umum dibandingkan dengan hadis. Sebab sunnah meliputi
perkataan, perbuatan dan sikap diam Rasulullah tanda setuju, sedang hadis hanya
perkataan beliau saja. (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hal. 110-111 )
Sebagai
sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah
al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup ummat Islam diturunkan
pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut,
agar dapat dipahami dan diamalkan. Sebagai utusan Allah Nabi Muhammad mempunyai
wewenang menjelaskan dan merinci wahyu Allah yang bersifat umum. Dalam Surat
an-Nahl ayat 44 kalimat kedua Allah menyatakan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu (Muhammad) menjelaskan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka...”. Tugas
menjelaskan wahyu Allah telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw.
Penjelasan-penjelasan itulah yang kita kenal dengan nama hadis atau sunnah
Rasulullah.
Ada tiga
peranan hadis di samping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam;
Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang
terdapat didalam al-Quran. Misalnya di dalam al-Quran ada ketentuan mengenai
shalat, puasa dan haji. Ketentuan itu ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam
sunnah Rasulullah secara lebih rinci bagaimana ketentuan shalat, ketentuan
puasa, dan ketentuan haji. Dengan demikian, ada ajaran yang telah ada dalam
Al-Quran, namun perlu ditegaskan lebih lanjut oleh Nabi.
Kedua, sebagai penjelasan isi al-Quran. Dengan
mengikuti contoh di atas, misalnya mengenai shalat. Di dalam al-Quran Allah
memerintahkan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci itu tidak
dijelaskan banyaknya raka’at, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
Demikian juga halnya dengan saum atau puasa dan haji. Perintah melaksanakannya
terdapat dalam al-Quran, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Nabi-lah yang menjelaskannya
dengan perkataan dan perbuatan beliau.
Ketiga, menambahkan atau mengembangkan sesuatu
yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-Quran. Contohnya
adalah larangan Nabi mempermadu (mengawini sekaligus atau mengawini pada waktu
bersamaan) seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam
larangan-larangan perkawinan di surat an-Nisa ayat 23. Namun kalau dilihat
hikmah larangan itu jelas bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau putus
hubungan silaturrahim antara kedua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama
Islam. Dengan larangan itu, nabi seakan-akan mengisi “kekosongan” mengenai
larangan perkawinan. Namun kalau direnungkan lebih lanjut, illatnnya (dasar
atau motifnya) sama dengan larangan mempermadukan dua orang bersaudara kandung,
yang terdapat dalam surat 23 surat an-Nisa untuk mencegah rusak bahkan putusnya
hubungan silaturrahim antara dua kerabat (Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992:
272).
E.
RA’YU ATAU AKAL PIKIRAN YANG DILAKSANAKAN
DENGAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari kata jahada, artinya berusaha sungguh-sungguh.
Dalam pengertian terminologi hukum, Prof Mukti Ali menyebutkan bahwa, “ijtihad adalah berusaha sekeras-kerasnya
untuk membentuk penilaian yang bebas tentang suatu masalah hokum”. Ijtihad
merupakan pekerjaan akal dalam memahami masalah dan menilainya berdasarkan
isyarat-isyarat Al-Qur’an dan As-Sunnah kemudian menetapkan kesimpulan mengenai
hukum tersebut. Karena ijtihad dapat disebut pula sebagai upaya mencurahkan
segenap kemampuan untuk merumuskan hukum syara
dengan cara merunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maksudnya menggunakan
kemampuan rasio guna merumuskan hukum yang tidak disebut secara eksplisit pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Objek ijtihad adalah
perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan yang hukumnya telah ditunjuk
secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak
termasuk objek ijtihad. Reaktualisasi hukum atas suatu perbuatan tertentu yang
telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk kategori
perubahan dan penggantian alias penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ijtihad dipandang
sebagai aktivitas penelitian ilmiah
karena itu bersifat relatif. Ijtihad ini menjadikan sebagai sumber nilai yang
bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali
hukum-hukum fiqh yang merupakan
produk ijtihad lama. Dr. Yusuf Qadrawi menyatakan bahwa, “terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut oleh peradaban modern
dewasa ini, yakni ijtihad dibidang hubungan keuangan dan ekonomi serta bidang
ilmu pengetahuan dan kedokteran”. Suatu hal yang disepakati para ulama
bahwa ijtihad tidak boleh berlaku bagi perumusan hukum aktivitas ibadah formal
kepada Allah. Allah sendiri yang memiliki hak untuk menentukan macam dancara
ibadah kepada-Nya. Tata cara ibadah formal telah dicontohkan secara final oleh
Rasullah saw.
Secara harfiah ra'yu
berarti pendapat atau pertimbangan, seseorang yang memiliki persepsi dan
pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra'yu (dzu'iray).
Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau ra'yu dalam berijtihad bagi
perkembangan hukum Islam adalah :
1.
Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 59, yang juga mewajibkan
untuk mengikuti Ulil Amri.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB (
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû &äóÓx« çnrãsù
n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur
bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$#
4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa: 59)
Hadits
dari Mu'az bin Jabal yang menjelaskan bahwa mu'az sebagai Ulil Amri (penguasa)
di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra'yunya untuk berijtihad.
2.
Contoh yang diberikan oleh Ulil Amri yakni khalifah
Umar bin Khattab beberapa tahun setelah Nabi Muhammad wafat, dalam memecahkan
persoalan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, pada masa awal perkembangan
Islam.
Bentuk Ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tiga macam,
yaitu sebagai berikut:
a.
Ijma’, Adalah kesepakatan poara
ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Ijma dilakukan untuk
merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an dan
sunnah.
b.
Qiyas, Adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum
ada kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah karena ada alasan yang
sama.
c.
Maslahah Mursalah, Merupakan cara
dalam menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan
manfaatnya.
Menurut
ajaran Islam manusia dibekali Allah dengan berbagai perlengkapan yang sangat
berharga antara lain akal, kehendak, dan kemampuan untuk berbicara. Dengan
akalnya manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik
dengan yang buruk, antara kenyataan dan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya
manusia akan selalu sadar. Dengan kehendak bebas (free will) yang diberikan
Tuhan padanya, manusia dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana
yang mutlak dan mana yang nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia
dapat dimintai pertanggungan jawab mengenai segala perbuatannya dalam memilih
sesuatu. Tanpa kebebasan (memilih) sukar dimintai pertanggungan jawab.
Sumber Bacaan :
Ilmy, Bachrul,
2006, Pendidikan Agama Islam Untuk Kelas
X Sekolah Menengah Atas,
Bandung:
Grafindo Media Pratama
Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT.
Raja Grapindo
Persada, 2006
Srijanti, dan
Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Moder,. Yogyakarta :
Graha
Ilmu, 2007
Sumber lain:
Al-Qur’an Digital
www.google.co.id
www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar